Oleh: Danis Eko Suryanto
Sebagai seorang guru, Buddha sudah memberi contoh dalam menerapkan cinta kasih. Seperti Ketika Buddha menerima permohonan brahma sahampati untuk mengajarkan dhamma pertama kali dengan dasar cinta kasih. Tergerak karena rasa kemanusian dan cinta kasih kemudian Buddha membabarkan kotbah untuk pertama kalinya, yang dikenal dengan sebutan Dhammacakkappavattana Sutta. Hal tersebut menjadi dasar Sejarah Agama Buddha hingga sekarang. Peristiwa pembabaran dhamma ini diperingati sebagai hari raya Asadha yang jatuh pada bulan purnama antara juli-agustus yang tahun ini hampir bertepatan dengan ulang tahun Pergabi.
Teladan Buddha dalam menerapkan cinta kasih pada pengajaran dhamma sejalan dengan kurikulum terkini yang wajib memasukkan setidaknya salah satu dari delapan profil lulusan dan memuat diversifikasi kurikulum. Kurikulum cinta merupakan salah satu yang wajib diterapkan, tujuannya adalah untuk membentuk pelajar berkarakter luhur dan cinta kasih berdasarkan Dhamma. Penanaman nilai ini untuk membangun karakter perlu diterapkan dalam berbagai mata Pelajaran, khususnya mata pelajaran Agama penerapan ini sangat diutamakan. Untuk dapat mengimplementasikan kurikulum cinta dalam pembelajaran, pada saat ini para guru dituntut untuk menjadi lebih kreatif. Cara yang dipilih diharuskan jauh dari kekerasan fisik maupun verbal. Banyak guru yang terlibat masalah kriminal karena menerapkan sikap disiplin kepada siswa dengan cara mencubit, memotong rambut, menendang dan sebagainya.
Sebagai seorang guru, Sang Buddha sangat memahami watak, karakter, sifat masing-masing siswanya. Sehingga dalam mengajar murid-muridnya Buddha bisa menggunakan pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan siswanya. Satu metode yang dicontohkan dalam cara mengajar Buddha adalah selalu menunjukkan contoh nyata dalam mengajarkan ajarannya. Buddha mendidik murid-muridnya untuk saling mengasihi satu sama lain. Cara tersebut sangat baik untuk dijadikan contoh bahkan pedoman untuk guru pada masa sekarang. Memahami karakter dan watak pribadi masing-masing individu peserta didik diutamakan dalam teknik mengajar.
Pada suatu ketika Buddha menasihati seorang bhikkhu yang keras kepala dan suka bertengkar sesama bhikkhu dengan nasihat siapapun yang memendam kebencian di dalam dirinya dengan berpikir bahwa ia telah menyiksa diriku, ia telah memukul ku, ia telah mengalahkanku, bahkan ia telah merampas barang-barang milikku, maka kebencian tidak akan lenyap dalam benak hatinya. Lebih lanjut Buddha Gotama mengatakan: dalam dunia ini, kebencian tidak akan berakhir dengan kebencian, kebencian hanya dapat dilenyapkan dengan cinta kasih, ini adalah kebenaran abadi. Buddha memberi nasihat demikian: kemenangan menimbulkan kebencian, orang yang kalah hidup dalam kesedihan, orang dapat tenang dan damai batinnya apabila ia telah mengatasi kemenangan dan kekalahan (Dhammapada: 3, 5, 201).
Nasehat Buddha tersebut sangat relevan untuk diterapkan dalam pembelajaran dengan diversifikasi kurikulum cinta. Dengan adanya cinta kasih (metta) diharapkan semua peserta didik di sekolah dapat menumbuhkan rasa empati, menghargai, toleransi dan mampu bekerja sama, peduli pada orang lain, serta aktif dalam lingkungan sekolah maupun masyarakat. Bila penerapan kurikulum cinta ini berhasil maka kedamaian di lingkungan belajar akan tercapai. Tidak akan ada lagi yang namanya perundungan maupun tawuran pelajar.
Cinta kasih dan cinta kasih merupakan bahasa hati, bahasa dari hati ke hati. Merupakan suatu kekuatan yang mengikat hati dengan hati untuk menyembuhkan dan menyatukan kita dalam kebersamaan yang sesungguhnya. Pikiran-pikiran cinta kasih yang sangat berkembang memiliki kekuatan magnetis yang dapat mempengaruhi dan menarik hati orang lain. Dengan perasaan ini kebahagiaan akan bertambah, menjadi lebih cerah, lebih mulia dan lebih suci, serta menciptakan keadaan yang lebih baik. Penerapannya adalah dengan mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan sesama, tanpa embel-embel apapun.
Cinta kasih dikembangkan dengan mempertimbangkan buruknya kebencian, dan manfaatnya membuang kebencian. Kebencian membatasi, cinta kasih membebaskan. Kebencian mencekik, cinta kasih melepaskan. Kebencian menimbulkan penyesalan, cinta kasih menghasilkan kedamaian. Kebencian bersifat menghasut, cinta kasih bersifat menenteramkan. Kebencian memecah belah, cinta kasih menyatukan. Kebencian mengeraskan, cinta kasih melembutkan. Kebencian menghalangi, cinta kasih menolong. Demikianlah kita dapat memahami dengan benar dan menyadari akibat dari kebencian dan manfaat cinta kasih, sebagai dasar dari pengembangan cinta kasih.
Cinta kasih berpasangan dengan welas asih, yaitu sifat luhur yang membuat orang mulia tergetar hatinya merasakan penderitaan. Welas asih ibarat seorang ibu yang semua perhatiannya demi menyingkirkan kesulitan hidup anaknya. Welas asih lebih berfokus menghilangkan penderitaan, kesusahan yang terjadi pada orang lain dan merupakan implementasi dari tanpa kekerasan. Welas asih dan kekerasan tidak dapat berdampingan, karena welas asih bersifat membangun sedangkan kekerasan bersifat merusak. Dengan dasar ini, hendaknya seorang guru lebih bisa mendekat dengan peserta didiknya untuk bisa membantu mereka dalam proses belajarnya.
Pada umumnya kekerasan terjadi karena para pelajar masih memiliki emosi yang tidak stabil, sehingga mereka cenderung membalas kebencian dengan kebencian, kekerasan dengan kekerasan. Orang yang membalas kekerasan yang pernah dialaminya akan menjadi lebih jahat dari pelaku pertama. Cara terbaik untuk mengatasi kekerasan pelajar adalah untuk menanamkan perasaan cinta kasih, kasih sayang, simpati kepada tiap individu peserta didik. Jangan memperhatikan keburukan orang lain. Yang akan menjadi pelindung bagi diri sendiri dari adalah perbuatan kita sendiri.
Sangat bijaksana bila umat Buddha mengembangkan cinta kasih dan welas asih dalam hati sanubari masing-masing. Penerapan cinta kasih dan welas asih itulah yang pasti dapat menjaga dunia ini dari kehancuran akibat kekerasan. Selamat Hari Asadha 2569/2025. Sadhu sadhu sadhu!
Penulis Guru Agama Buddha SMA N 1 Salatiga