Oleh: Lasmini, S.Ag., M.Pd.B
Menjadi guru di era sekarang bukanlah perkara mudah. Tuntutan zaman, perkembangan teknologi, dan kebutuhan peserta didik yang semakin beragam membuat guru merasa tertinggal atau bahkan tidak mampu. Banyak yang merasa belum cukup baik, belum menguasai metode kekinian, atau tidak percaya diri karena belum “sempurna”. Padahal dalam Dhamma, Buddha sendiri mengajarkan bahwa kehidupan adalah proses pembelajaran tanpa akhir. Kesempurnaan bukan tujuan langsung melainkan proses menuju kebijaksanaan.
Dalam Dhammapada, Buddha bersabda: ” Dengan latihan bertahap, sedikit demi sedikit, dari waktu ke waktu, hendaklah orang bijaksana membersihkan noda-noda yang ada dalam dirinya, bagaikan seorang pandai perak membersihkan perak yang berkarat.” (Dhp 239)
Sabda ini sangat relevan bagi seorang guru. Guru tidak dituntut langsung sempurna. Yang utama adalah memiliki kemauan untuk memperbaiki diri secara berkelanjutan. Guru yang hebat adalah mereka yang bersedia terus belajar dari pengalaman, dari murid, dan dari perubahan zaman.
Bayangkan seorang guru bernama Ibu Wati, guru kelas 2 SD di sekolah desa kecil. Ia tidak begitu mahir menggunakan perangkat teknologi. Saat pandemi datang dan semua pembelajaran berpindah ke daring, ia hampir menyerah. Namun dengan perlahan, ia mulai bertanya kepada anak-anak muda di lingkungannya, mengikuti pelatihan daring gratis, dan mencoba satu per satu aplikasi sederhana. Murid-muridnya tidak menertawakannya, justru mereka terharu melihat gurunya tetap berjuang demi mereka. Inilah contoh nyata appamāda (ketekunan dan usaha tanpa kenal lelah).
Semangat belajar ini tidak hanya untuk menguasai materi atau teknologi, tetapi juga untuk memperdalam pengertian, memperluas empati, dan mengasah ketulusan. Guru yang hebat akan belajar memahami bahwa setiap anak adalah individu yang unik.
Dalam Anguttara Nikaya, Buddha menyebut empat jenis orang:
- Para jenius (ugghatitaññu)
- Para intelektual (vipacitaññu)
- Mereka yang dapat dilatih (neyya)
- Mereka yang tidak dapat dilatih (padaparama)
- Para jenius (ugghatitaññu)
Para jenius menunjukkan macam manusia yang dapat memahami ajaran hanya dengan mendengarkan pokok ajaran. Jenis ini dapat dibandingkan dengan bunga teratai yang telah muncul di atas permukaan air dan pasti akan mekar pada sinar fajar hari yang pertama. Suatu contoh dapat dilihat dalam hal bhikkhu Sariputta Thera, petapa Bahiya, samanera Sankicca dan beberapa lainnya lagi yang dengan segera mencapai penerangan sempurna sewaktu mendengarkan syair-syair yang pertama.
- Para intelektual (vipacitaññu)
Manusia jenis kedua dengan tingkat kebijaksanaan yang lebih rendah adalah disebut para intelektual, yang memerlukan keterangan dan uraian lebih jauh sebelum mereka dapat mencapai Penerangan Sempurna. Contoh dari jenis ini adalah lima orang petapa dan rombongan seribu petapa penyembah api yang dipimpin oleh Uruvela Kasapa. Mereka dapat dibandingkan dengan bunga-bunga teratai yang masih berada di bawah permukaan air, sedang menunggu untuk muncul di atas permukaan air pada hari berikutnya.
- Mereka yang dapat dilatih(neyya)
Mereka yang dapat dilatih menunjukkan mayoritas manusia biasa (yang tidak begitu bodoh tetapi juga tidak begitu bijaksana). Orang-orang ini memerlukan instruksi-instruksi dan uraian-uraian serta suatu jangka waktu latihan dan praktek sebelum mereka dapat mengharapkan suatu kemajuan atau perkembangan yang nyata. Mereka dapat dibandingkan dengan bunga teratai yang masih berada agak jauh di bawah permukaan air. Mereka memerlukan suatu jangka waktu lebih lama untuk pertumbuhan dan kemunculan mereka di atas permukaan air.
- Mereka yang tidak dapat dilatih (padaparama)
Mereka yang tidak dapat dilatih atau tidak ada harapan adalah mereka yang tidak mungkin mengerti atau maju dalam masa kehidupan ini. Mereka dapat mendengarkan ajaran-ajaran atau mencoba untuk mempraktekkan sesuai dengan perintah-perintah, tetapi karena keterbelakangan atau kebutaan batin mereka, tidak ada hasilnya yang dapat diharapkan. Mereka adalah seperti bunga teratai yang dimakan habis oleh binatang air, tidak mempunyai harapan untuk tumbuh di atas permukaan air.
Dari keempat jenis manusia ini, salah satunya adalah orang-orang yang memerlukan instruksi-instruksi dan uraian-uraian serta suatu jangka waktu latihan dan praktek sebelum mereka dapat mengharapkan suatu kemajuan atau perkembangan yang nyata. Guru berada di jalur ini karena mereka dapat terus melatih diri untuk bisa memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan sebagai guru.
Contoh lain datang dari seorang Bhikkhu bernama Bhikkhu Nagasena. Dalam Milinda Panha, ia digambarkan sebagai bhikkhu yang rendah hati dan tidak mengklaim mengetahui semuanya, namun penuh kebijaksanaan karena terus belajar dan berdialog. Seorang guru yang penuh semangat belajar akan memancarkan sifat yang sama: rendah hati, terbuka, dan tidak berhenti mencari makna dari setiap pengalaman di kelas.
Penjelasan di atas mengajarkan guru untuk memiliki sikap mau terus belajar. Contoh sikap guru yang mau terus belajar diantaranya:
- Menerima masukan dengan lapang dada
Seorang guru menerima kritik dari kepala sekolah atau rekan sejawat tanpa tersinggung. Ia justru mencatat masukan tersebut dan menggunakannya untuk memperbaiki cara mengajar.
2. Bertanya jika tidak tahu
Saat menghadapi kesulitan menggunakan teknologi atau aplikasi pembelajaran digital, guru tidak malu bertanya kepada murid yang lebih mahir atau rekan guru yang lebih muda.
- Mengikuti pelatihan dan webinar
Guru meluangkan waktu untuk mengikuti pelatihan daring, webinar, atau workshop baik secara mandiri maupun yang diadakan oleh instansi pendidikan.
- Mencoba metode mengajar baru
Meski sudah lama mengajar, guru tetap mencoba pendekatan baru seperti pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), diskusi kelompok, atau media interaktif.
- Membaca buku atau artikel pendidikan terkini
Guru aktif membaca buku, artikel jurnal, atau blog pendidikan untuk menambah wawasan tentang perkembangan psikologi anak, strategi pembelajaran, atau kurikulum terbaru.
- Belajar dari murid
Guru tidak merasa lebih tahu segalanya. Ia terbuka untuk belajar dari muridnya, baik dari cara berpikir mereka, kebiasaan generasi mereka, bahkan nilai-nilai yang mereka bawa.
- Mengubah kegagalan jadi bahan evaluasi
Jika suatu metode mengajar tidak berjalan efektif, guru tidak menyalahkan murid. Ia justru merenung dan mengevaluasi: “Apa yang bisa saya ubah untuk membuat pelajaran ini lebih menarik?”
- Bergabung dalam komunitas guru
Guru aktif berbagi pengalaman, berdiskusi, dan belajar dari guru lain dalam komunitas profesional seperti KKG/MGMP, PERGABI, forum daring, atau grup guru lainnya.
- Mengintegrasikan nilai-nilai Buddhis dalam praktik mengajar
Guru tidak hanya mengajar isi pelajaran, tapi juga terus belajar bagaimana menerapkan metta (cinta kasih), khanti (kesabaran), dan sati (kesadaran penuh) di ruang kelas.
- Berani keluar dari zona nyaman
Guru mengambil tanggung jawab baru seperti menjadi wali kelas, mengelola projek sekolah, atau menjadi narasumber, meski awalnya merasa ragu atau belum percaya diri.
Penutup
Guru hebat bukanlah mereka yang tanpa cela, tetapi mereka yang punya semangat untuk terus tumbuh. Dalam Dhamma, ini disebut jalan menuju parami—kesempurnaan batin yang dibentuk oleh praktik sehari-hari. Maka, selama seorang guru mau belajar, mengakui kekurangan, dan tetap berjalan dengan penuh cinta kasih dan kesabaran, ia sedang menapaki jalan menuju kemuliaan.
Ingatlah, murid tidak menuntut guru yang serba bisa. Mereka hanya membutuhkan guru yang hadir sepenuh hati dan bersedia tumbuh bersama mereka. Seperti kata pepatah Buddhis, “Pohon yang berbuah tidak pernah tumbuh dalam semalam.” Maka teruslah belajar, karena di situlah kehebatan sejati seorang guru bertumbuh.
Referensi:
- Dhammapada. (1993). Terjemahan oleh Bhikkhu Uttamo Mahathera. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama.
- Anguttara Nikaya. (1997). Terjemahan oleh Piyadassi Thera. Kandy: Buddhist Publication Society.
- Milinda Panha (Pertanyaan Raja Milinda). (1990). Terjemahan oleh I.B. Horner. London: Pali Text Society.
- Depdiknas. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
- Suyanto, & Asep Jihad. (2013). Menjadi Guru Profesional: Strategi Meningkatkan Kualifikasi dan Kualitas Guru di Era Global. Jakarta: Erlangga.
- Hadi, S. (2011). Pendidikan dan Pembelajaran dalam Perspektif Buddhisme. Yogyakarta: Paramita.