Ilustrasi Guru Pendidikan Agama Buddha sedang mengajar. Sumber: Gambar dibuat dengan ChatGPT Open AI
Oleh: Tupari, S.Ag., M.M., M.Pd.B., M.T.I
Di Indonesia, bulan ini kita memperingati Hari Guru sebagai momentum untuk menghargai jasa para pendidik yang telah menuntun kita menuju pengetahuan, karakter, dan kebijaksanaan. Dalam ajaran Buddha, peran seorang guru dipandang sebagai salah satu berkah tertinggi bagi kehidupan manusia. Guru bukan sekadar pemberi ilmu, tetapi penunjuk jalan menuju pembebasan batin.
Buddha mengajarkan bahwa kehidupan ini penuh ketidakpastian, penderitaan, dan kebingungan. Melalui kebijaksanaan, kita mampu melihat realitas apa adanya dan menjalani hidup dengan benar. Dalam proses itu, guru memiliki peran penting: mereka menyalakan cahaya pengetahuan di tengah kebodohan mental (avijjā) agar kita mampu menemukan arah hidup yang benar.
Sebagaimana dinyatakan dalam Mangala Sutta, salah satu berkah terbesar dalam hidup adalah dapat belajar dari orang bijaksana. Guru merupakan wujud nyata dari berkah tersebut. Mereka tidak hanya mengajar lewat kata-kata, tetapi juga melalui keteladanan, kesabaran, dan ketulusan.
Guru dalam Perspektif Buddhisme
Dalam tradisi Buddhis, guru dipandang sebagai orang yang membantu kita menjalankan jalan menuju kebenaran (Dhamma). Seorang guru sejati tidak hanya memberikan pengetahuan duniawi, tetapi juga menuntun untuk mengembangkan kebajikan seperti kemurahan hati (dāna), kedisiplinan moral (sīla), dan kebijaksanaan (paññā).
Guru yang baik mendorong muridnya untuk berpikir jernih, bukan mengikuti secara buta. Buddha sendiri menganjurkan kita untuk menyelidiki, bukan menerima mentah-mentah. Hal ini tampak dalam ajaran Kalama Sutta, di mana Buddha menekankan pentingnya pemeriksaan pribadi sebelum menerima suatu ajaran.
Dalam Lohicca Sutta (Dīgha Nikāya 12), Buddha menjelaskan ciri-ciri seorang guru yang baik dan layak dihormati. Guru demikian bukan hanya mengetahui ajaran, tetapi juga menghayatinya, membimbing dengan cinta kasih (mettā) dan welas asih (karuṇā), serta tidak mengajar demi pujian atau keuntungan diri. Ia mengarahkan murid kepada kebenaran dan pembebasan, bukan kepada keterikatan pada diri sang guru.
Guru Dunia dan Guru Kehidupan
Bagi umat Buddha, Buddha adalah Guru Agung (Satthā), pembimbing tertinggi yang telah menunjukkan Jalan Mulia Berunsur Delapan menuju kebebasan sejati. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, kita bertemu banyak guru yang mengisi berbagai peran: guru di sekolah, mentor di tempat kerja, orang tua, bahkan pengalaman hidup itu sendiri.
Setiap orang yang membantu kita tumbuh adalah guru. Seorang guru mungkin menegur ketika kita salah, memberi pujian ketika kita benar, atau diam namun hadir saat kita goyah. Terkadang, guru bukan sekadar sosok yang mengajar di kelas, tetapi seseorang yang hadir memberikan inspirasi dan keberanian.
Menghormati Guru adalah Menghormati Dhamma
Dalam budaya Buddhis, menghormati guru adalah bentuk hormat kepada kebenaran yang diajarkan. Sikap hormat (gārava) bukan sekadar upacara atau simbol, tetapi lahir dari rasa terima kasih dan pemahaman bahwa tanpa guru, kita akan tersesat dalam kejahilan.
Menghormati guru berarti:
- Mendengarkan dengan hati terbuka
- Mengaplikasikan ajaran dalam kehidupan
- Menjaga etika dalam ucapan dan tindakan
- Menumbuhkan rasa terima kasih setiap hari
Dengan melakukan itu, kita menumbuhkan kualitas batin yang baik dan membiarkan benih kebijaksanaan tumbuh.
Selain itu, dalam Sigalovada Sutta, Buddha menegaskan pentingnya memuliakan guru sebagai bagian dari kewajiban moral seorang murid. Guru dipandang seperti arah timur, tempat matahari kebijaksanaan terbit dan menerangi perjalanan hidup murid. Murid hendaknya menghormati guru, belajar dengan penuh kesungguhan, membantu dalam keperluan sewajarnya, menjaga nama baik guru, serta menerima dan mempraktikkan nasihat yang diberikan untuk kebaikan diri.
Sebaliknya, guru juga memiliki tanggung jawab mulia kepada murid, yaitu mendidik dengan penuh kesabaran, membimbing menuju kebijaksanaan, melatih kedisiplinan, menjelaskan pengetahuan dengan jelas dan sistematis, serta melindungi murid dari kesalahan yang dapat merugikan masa depannya. Hubungan saling menghormati ini menciptakan harmoni yang membawa manfaat luas, bukan hanya bagi murid tetapi juga bagi masyarakat. Dengan demikian, memuliakan guru bukan hanya bentuk penghormatan pribadi, melainkan bagian dari latihan moral yang luhur untuk menumbuhkan karakter mulia dan kemajuan spiritual (sīla dan paññā).
Menjadi Guru bagi Diri Sendiri dan Orang Lain
Hari Guru bukan hanya tentang merayakan mereka yang mengajar, tetapi mengingatkan kita bahwa setiap orang juga dapat menjadi guru bagi sesamanya. Melalui perilaku baik, nasihat bijak, dan sikap penuh kedamaian, kita dapat memberikan inspirasi bagi orang lain.
Lebih dari itu, kita juga bertanggung jawab menjadi guru bagi diri sendiri. Dengan menjalani latihan batin-meditasi, kesadaran penuh (sati), dan introspeksi-kita membimbing diri menuju kebebasan dari kebencian, keserakahan, dan kebodohan (moha).
Penutup
Di Hari Guru ini, marilah kita memuliakan para guru kita, baik yang terlihat maupun yang hadir dalam bentuk pengalaman kehidupan. Semoga kita semua mampu menjadi murid yang baik – belajar dengan kerendahan hati, mengembangkan kebijaksanaan, dan menyebarkan cinta kasih dalam kehidupan sehari-hari.
Karena guru bukan hanya mereka yang mengajarkan di kelas, tetapi setiap sosok yang menuntun kita menuju cahaya Dhamma dan membuka mata kita terhadap kebenaran.
Semoga semua guru di mana pun berada berbahagia, penuh kesehatan, damai, dan sejahtera.
Namo Buddhaya.
Daftar Pustaka
- Bodhi, Bhikkhu (Trans.). The Connected Discourses of the Buddha: A Translation of the Saṁyutta Nikāya. Somerville: Wisdom Publications, 2000.
- Bodhi, Bhikkhu (Trans.). The Numerical Discourses of the Buddha: A Translation of the Aṅguttara Nikāya. Somerville: Wisdom Publications, 2012.
- Ñāṇamoli, Bhikkhu & Bodhi, Bhikkhu (Trans.). The Middle Length Discourses of the Buddha (Majjhima Nikāya). Somerville: Wisdom Publications, 1995.
- Walshe, Maurice (Trans.). The Long Discourses of the Buddha: A Translation of the Dīgha Nikāya. Somerville: Wisdom Publications, 1995.